Pendidikan Seni selalu hadir dalam kurikulum sekolah, karena seni
merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Sebagaimana Pratt (1980: 54)
mengatakan, bahwa dalam menyusun kurikulum sebaiknya melibatkan lima kebutuhan
manusia (human needs), yakni “need for self-actualization, needs for
meaning, social needs, aesthetic needs, and survival needs”. Pernyataan
Pratt tersebut menunjukkan bahwa aesthetic
needs dipandang sebagai bagian yang esensial dari kurikulum sekolah,
sehingga penting dilaksanakan di sekolah-sekolah.
Pendidikan Seni sebagai aesthetic needs memiliki fungsi yang
esensial dan unik, sehingga mata pelajaran
ini tidak dapat digantikan dengan mata pelajaran lain. Berdasarkan
berbagai kajian dan penelitian, baik secara filosofis, psikologis maupun
sosiologis ditemukan bahwa pendidikan seni memiliki keunikan peran atau nilai
strategis dalam pendidikan sesuai perubahan dan dinamika masyarakat. Menurut
pakar pendidikan seni dampak hasil belajar seni antara lain: dapat meningkatkan
daya kreativitas anak (Dewey: , Read: 1970, dan Ross: 1978), dapat membantu
pertumbuhan mental anak melalui penyaluran ekspresi dan kreativitas (Lowenfeld:
1982), dapat meningkatkan kemampuan apresiasi (Chapman: 1978 ), dapat membantu
perkembangan kepribadian dan pembinaan estetik anak (Wickiser: 1974), dapat
membantu mengembangkan perasaan anak (Ross: 1990), dapat digunakan sebagai sarana
kesehatan mental (Margaret Naumberg: ), dan sebagainya.
Dampak pengalaman seni atau
fungsi pendidikan seni bagi anak didik dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1.
Seni sebagai wahana ekspresi
Ekspresi
merupakan pernyataan kejiwaan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia dalam mencari kepuasan. Ekpresi juga merupakan kebutuhan manusia dalam
mengkomunikasikan isi hatinya kepada pihak lain. Berekpresi dalam seni berarti
menuangkan isi hati dengan menggunakan sarana gambar, gerak, nada suara atau
kata (Soehardjo, 1995). Bagi anak-anak art itu bisa dijadikan
alat/sarana untuk berekpresi “a means of expretion” (Lowenfeld, 1982).
Dalam berekspresi ini pikiran, perasaan dan emosi anak ikut berperan.
2.
Seni sebagai sarana pengembangan/pembinaan kreatifitas.
Pembinaan
ekspresi dapat menunjang pembinaan kreatifitas. Pada umumnya kreatifitas
diartikn sebagai daya atau kemampuan untuk mencipta. Melalui kegiatan berolah
seni kreatifitas atau daya cipta anak dapat dikembangkan. Berolah seni yang
dimaksudkan adalah melakukan kegiatan pengenalan, eksperimen dalam berbagai
bentuk jenis alat/bahan dan teknik mewujudkan/menampilkan karya seni, baik
melalui rupa, gerak, nada suara atau kata. Membangkitkan dan membebaskan anak
untuk melakukan kegiatan berolah seni sesuai kemampuan dan minatnya serta
memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mencoba memecahkan masalah ketika
berolah seni sehingga menghasilkan hal-hal baru dan unik baginya merupakan
sarana yang baik dalam upaya membina dan mengembangkan kreatifitas. Sebagimana
dikatakan oleh tokoh-tokoh seperti Dewey, Read and Ross, bahwa melalui
pembelajaran seni dapat membantu meningkatkan daya kreatifitas anak.
3.
Seni sebagai sarana pengembangan bakat anak.
Secara umum orang berpendapat bahwa bakat anak dibawa sejak lahir, namun
bakat anak ini sulit berkembang jika tidak dipupuk. Bakat anak dibidang seni
dapat dipupuk melalui pembelajaran seni. Pendidikan seni yang memberikan
kesempatan pada anak untuk mengenal dan menjelajah berbagai media seni, serta
sikap/dukungan dan motivasi guru yang positif terhadap anak-anak untuk
berpeluang memelihara dan mengembangkan bakatnya.
4.
Seni sebagai sarana pembinaan ketrampilan.
Ketrampilan berasal dari kata
terampil yang berarti cekatan dalam melakukan sesuatu. Untuk membantu menyalurkan
dorongan ekspresi dan kreativitas anak dibutuhkan suatu ketrampilan dasar.
Dalam seni latihan ketrampilan ini bukan tujuan utama, tetapi hanya sebagai
sarana untuk menunjang kelancaran berekspresi atau berkreativitas. Ketrampilan
yang diberikan bukanlah ketrampilan yang bersifat statis, tetapi lebih
diarahkan pada ketrampilan yang bersifat kondisional. Arti keterampilan yang
kondisional bersifat kreatif, produktif, dinamis dan mampu untuk tumbuh. Jenis
ketrampilan ini cocok untuk dikembangkan di sekolah-sekolah umum. Melalui
kegiatan berolah seni yang memberi cukup kebebasan pada anak untuk melatih
skill sejalan dengan dorongan ekspresi dan kreativitasnya akan sangat
bermanfaat bagi anak untuk membina dan mengembangkan potensi ketrampilannya.
5.
Seni sabagai sarana pembentukan kepribadian.
Kebiasaan berolah seni yang
memperhatikan dan memberi keleluasaan yang cukup terhadap subyek didik untuk
menampilkan sifat-sifat kepribadian, memberi peluang yang luas untuk
pembentukan kepribadian ( Soenarjo, 1995). Kepribadian dalam seni lebih
diarahkan kepada tumbuhnya rasa cinta terhadap kesenian bangsanya dan mau
menerima kesenian asing yang terseleksi. Dengan pengenalan benda-benda seni dan
tokoh-tokoh seniman serta lingkungan alam sekitar yang indah dapat menumbuhkan
kecintaan atau kebanggaan anak terhadap alam dan kesenian bangsanya. Dan ini
berarti telah mengurangi timbulnya penyimpangan-penyimpangan sifat kepribadian
yang merusak moral dan identitas jati diri bangsa.
6.
Seni sebagai sarana pembinaan impuls estetik.
Secara naluri setiap anak memiliki impuls estetik (Read,1974). Jika
naluri ini tidak mendapat kesempatan tumbuh dan berkembang, maka naluri
tersebut bisa mati atau tumbuh kerdil. Melalui program pendidikan seni
naluri/kepekaan citarasa keindahan dapat dibina dan ditumbuh-kembangkan.
Caranya dimulai dari pengakraban dengan obyek yang bermuatan estetik, maka
seseorang akan semakin peka estetiknya. Kepekaan itu merupakan modal dasar
dalam mengapresiasi seni, berolah seni dan menghargai hasil budaya bangsa sendiri,
maupun bangsa lain.
Pandangan ahli tentang pendidikan seni diberikan di sekolah umum tersebut
memiliki fungsi yang beragam sesuai dengan perkembangan dinamika dan kondisi
sosial-budaya masyarakat. Namun
beberapa ahli mencoba mengklasifikasikan keberagaman fungsi pendidikan seni
tersebut menjadi beberapa fungsi. Bagi Eisner (1972: 58) keunikan fungsi
pendidikan seni dalam orientasi
pengajaran seni dapat dipetakan dalam sebuah hubungan triadik, yaitu: (1)
pandangan pendidikan seni berbasis anak, (2) pandangan pendidikan seni berbasis
subjek (disiplin ilmu), dan (3) pandangan pendidikan seni berbasis kebutuhan
masyarakat. Dalam sudut pandang kebutuhan anak, secara psikologis keunikan mata
pelajaran pendidikan seni utamanya berkaitan dengan kontribusi seni terhadap
kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi kebutuhan perkembangan pebelajar, yakni
terletak pada pemberian pengalaman estetik secara alamiah dalam bentuk kegiatan
berekspresi diri secara kreatif dan berapresiasi (respon kreatif) sehingga
dapat membantu menumbuhkembangkan keseluruhan potensi kepribadian utuh
(holistik) pebelajar baik aspek pribadi, sosial, intelek, emosi, dan fisik.
Berdasarkan sudut pandang
berbasis disiplin ilmu, fungsi pendidikan seni di sekolah dipandang sebagai subjek metter/ilmu seni yang harus
dipelajari pebelajar, sehingga diharapkan pebelajar memiliki ranah kompetensi
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam bidang seni esensial meliputi:
estetika, sejarah, apresiasi, kritik dan kreasi seni. Sedangkan sudut pandang
pendidikan seni berbasis kebutuhan masyarakat dimaksudkan dapat membantu bagi
berbagai kepentingan kebutuhan masyarakat, seperti untuk mengembangkan ekonomi,
kepentingan politik dalam menumbuhkan jati diri bangsa, dan/atau untuk
penciptaan suasana kondusif bagi kehidupan masyarakat yang multietnik. Dalam
hal ini fungsi pendidikan seni di sekolah dapat dipandang sebagai subjek
keterampilan seni ketika masyarakat membutuhkan banyak teknisi/tukang yaitu
untuk menyiapkan tenaga terampil di bidang seni yang siap pakai dalam dunia
kerja, atau jika di masyarakat sedang terjadi konflik politik maka seni dapat
difungsikan untuk menanamkan kesadaran budaya atau mempromosikan gagasan
multikultural dan sebagainya. Hal ini senada dengan pandangan Salam (2004a:
14-15) bahwa pendidikan seni dapat memenuhi kebutuhan individual, sosial dan
kultural anak.
Dalam sudut pandang lain Wickizer (1974)
mengklasifikasikan fungsi pendidikan seni bagi perkembangan potensi kejiwaan
anak menjadi tiga fungsi, yaitu: (1) bantuan seni bagi pertumbuhan dan
perkembangan individu anak didik, (2) bantuan seni bagi pembinaan estetik dan
(3) bantuan seni bagi kesempurnaan kehidupan.
Jika dicermati berbagai fungsi
pendidikan seni tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua.
Eisner (1972) mengatakan bahwa kecenderungan justifikasi fungsi pendidikan seni
pada dasarnya dibedakan menjadi dua kategori pembenaran, yakni kecenderungan
pembenaran esensial dan kecenderungan
pembenaran kontekstual. Kecenderungan
pembenaran esensial mengandung makna
pembelajaran seni untuk meningkatkan kemampuan pebelajar berkaitan dengan
masalah seni itu sendiri, sedangkan kecenderungan pembenaran kontekstual mengandung makna
pembelajaran seni untuk meningkatkan kemampuan pebelajar berkaitan dengan masalah
di luar seni (non-seni), yaitu bisa membantu pencapaian pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian anak, atau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti
menanamkan kesadaran budaya. Jika dikaitkan kedua pandangan Eisner tersebut
menggambarkan bahwa penekanan keunikan fungsi seni berbasis disiplin ilmu
berkecenderungan pembenaran esensial, sedangkan penekanan berbasis kebutuhan
anak dan kebutuhan masyarakat dapat dikategorikan berkencenderungan pembenaran
kontekstual.
Demikan juga jika pandangan Wickizer dikaitkan dengan pandangan Eisner
dapat digambarkan sebagai berikut. Klasifikasi butir (1) ) bantuan seni bagi
pertumbuhan dan perkembangan individu anak didik dan butir (3) bantuan seni
bagi kesempurnaan kehidupan milik Wickizer merupakan bantuan terhadap
perkembangan anak didik mengenai hal-hal non artistik/estetik, maka termasuk
fungsi kontekstual. Sedang butir (2) bantuan seni bagi pembinaan estetik
termasuk fungsi esensial.
Uraian di muka menggambarkan bahwa hakekat fungsi pendidikan seni
diberikan di sekolah umum secara filosofi, psikologis, maupun sosiologis
memiliki fungsi ganda, yaitu dapat difungsikan untuk seni itu sendiri maupun
seni untuk non-seni (seni sebagai alat pendidikan). Hakekat fungsi seni pertama
merupakan hal pembeda fungsi mata pelajaran pendidikan seni dengan mata
pelajaran lain, yakni untuk membina dan menumbuhkembangkan kemampuan dasar
potensi estetik pebelajar. Kemampuan dasar potensi estetik ini diperoleh
pebelajar melalui kegiatan pengakraban, pencerapan dan penanggapan terhadap
benda-benda alam yang bermuatan estetik dan/atau benda seni serta pengalaman
dasar pebelajar menggeluti atau berolah seni dan pengalaman menyajikan seni.
Perolehan hasil kegiatan tersebut berupa kemampuan dasar keterampilan
seni, ekspresi seni, kreativitas seni, penyajian seni, pemahaman seni, dan
kemampuan dasar apresiasi dan/atau kritik seni berupa kepekaan estestik.
Hakekat fungsi kedua merupakan pendidikan
seni sebagai alat pendidikan. Read (1978), mengatakan bahwa pendidikan seni
berfungsi sebagai alat pendidikan, yaitu dapat menumbuhkembangkan kepribadian
pebelajar secara utuh mencakup potensi fisik, mental pribadi, dan sosial anak
didik secara umum seperti halnya pada mata pelajaran lain melalui program
pengajaran seni. Tumbuh-kembangnya potensi tersebut diperoleh sebagai akibat
dari terlatihnya pebelajar dalam kegiatan mengungkapkan pengalaman batin
(estetik) secara jujur (pribadi), unik, baru, serta pengalaman pengakraban,
mempersepsi, menganalis, menginterpretasi, menilai dan menghargai objek estetik
atau karya seni. Perolehan hasil kegiatan berupa terkoordinasinya kepekaan
gerak motorik (skill) dengan keseluruhan indera, sikap keberanian mengemukakan
pendapat, kemampuan berfikir secara integral, sikap kerjasama, kesetiakawanan
sosial, toleransi, penghargaan, demokratis, beradap, mampu hidup rukun dalam
masyarakat dan budaya yang majemuk serta dampak-dampak yang lainnya di luar
seni itu sendiri.
Meskipun kedua fungsi tersebut berbeda,
namun pada dasarnya esensi dari pendidikan seni diberikan di sekolah umum tidak
lain adalah sebagai upaya membina dan menumbuhkembangkan potensi pengalaman
estetis pebelajar. Dalam arti
perolehan kompetensi dari pembenaran esensial diharapkan akan dapat berdampak
pada pembenaran kontekstual. Sehingga kedua pembenaran fungsi tersebut dapat
dijadikan sebagai dasar program pengajaran seni. Dalam pelaksanaan pembelajaran
bisa terjadi penekanan fungsi yang berbeda sesuai perkembangan dan kebutuhan
jaman, sehingga bisa berdampak pada penekanan perbedaan prinsip pembelajaran,
pendekatan, substansi bahan ajar, maupun evaluasi hasil belajar yang ingin
dicapai. Namun semuanya akan tetap memiliki dampak yang sama yakni
tumbuhkembangnya potensi estetik pebelajar berupa kemampuan estetik meskipun
dengan kadar yang berbeda.
Berkaitan dengan tujuan pembelajaran seni, Eisner (1972) berpendapat
bahwa hakekat tujuan pembelajaran seni ada dua, yakni: instructional objective dan expressive.
Tujuan instruksional sama halnya dengan tujuan pengajaran, yaitu tujuan yang
berpengharapan hasil belajar yang dicapai sesuai dengan rancangan yang telah
disusun sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Sedangkan tujuan ekspresi
adalah tujuan yang berpengharapan agar pebelajar memperoleh kesempatan serta
mampu melaksanakan kegiatan seni sesuai dengan minat serta sesuai kebutuhan
pribadinya.
Dalam kaitan dengan kedua kecenderungan pembenaran fungsi pembelajaran
seni, fungsi esensial mudah dirumuskan dalam tujuan instruksional (instruksional efec), sedangkan
pembenaran fungsi kontekstual sulit dirumuskan sehingga sebagai tujuan ekspresi
atau sebagai nuturan efek (efek
ikutan).
Hardiman (1981) menyatakan
bahwa dalam pengalaman seni selalu melekat adanya pengalaman estetik yang
bersifat laten yang dapat berdampak pada intructional
efek maupun nuturen efek berupa
kemampuan kepekaan estetik. Dikatakan laten karena pada dasarnya diri
manusia selalu memiliki impuls estetik (Read, 1970). Impuls estetik inilah yang
bisa ditumbuhkembangkan melalui
pendidikan seni dan dijadikan sebagai inti pembelajaran seni.
Konsep pengalaman estetik
antara lain diungkapkan oleh Munro (1970) bahwa pengalaman estetik merupakan
suatu proses psikologis adalah cara merespon terhadap stimuli, terutama lewat
persepsi indera, tetapi juga berkaitan dengan proses kejiwaan, seperti asosiasi,
pemahaman, imajinasi dan emosi. Langer dan Goodman (dalam Smith and
Smith, 1981: 91) mempertegas
pandangan yang dikemukakan Munro bahwa pengalaman estetik tersebut mencakup
pengalaman kognitif maupun pengalaman rasa yang melibatkan kemampuan
berpikir logis, kepekaan rasa, dan peran
aktif dari emosi.
Selanjutnya Dewey (1934: 22)
dalam teorinya art as experience
mengatakan bahwa pengalaman estetik menggambarkan sejenis pengalaman yang
spesial karena terjadinya sentuhan dengan gejala keindahan yang ditentukan oleh
pengetahuan, pengalaman, cita rasa dan konteks budaya. Pengalaman estetik
sebagai pengalaman spesial juga diungkapkan oleh Clive Bell (dalam
Sutrisno. 2003: 18-19) bahwa pengalaman estetik merupakan pengalaman yang
dirasakan secara pribadi dan istimewa.
Kesimpulan yang dapat dikemukakan bahwa hakekat pendidikan seni diberikan
di sekolah umum adalah sebagai upaya untuk membina pengalaman estetik
pebelajar. Pemberian pengalaman estetik dapat dimaknai lebih menekankan pada
segi proses kegiatan dari pada segi hasil pemahaman seni maupun hasil karya
seni. Pengalaman estetik yang menekankan pada
hasil karya seni, lebih sesuai diberikan di sekolah kejuruan seni.
Lebih lanjut Dewey (dalam Read, 1970) menguraikan bahwa penekanan proses
pengalaman belajar seni tersebut melibatkan kesadaran dan kepekaan estetik
dianggap sebagai kulminasi pengalaman yang sulit diperoleh dari jenis
pengalaman yang lain. Dewey mengatakan hakekat seni adalah pengalaman. Hakekat
pengalaman adalah interaksi individu anak dengan lingkungannya. Hakekat
pengalaman belajar adalah interaksi individu anak dengan lingkungan yang
menyebabkan perubahan perilaku. Jadi hakekat pengalaman belajar seni adalah
seni merupakan lingkungan belajar. Interaksi individu anak dengan lingkungan
seni menghasilkan pengalaman seni berupa pengalaman estetik (timbulnya
kesadaran, kepekaan dan sikap estetik) pada individu pebelajar. Proses
pengalaman estetik dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.1. Adaptasi
proses pengalaman estetis menurut Dewey.
Nilai pengalaman belajar seni yang berupa pengalaman estetik inilah yang
juga diharapkan akan berdampak pada membantu pertumbuhan dan perkembangan
potensi individu pebelajar baik aspek pribadi, sosial, maupun pertumbuhan
potensi emosi, fisik dan intelek secara utuh. Disinilah terdapat relevansi
hubungan belajar seni dengan tujuan pendidikan yang merupakan hakekat
pendidikan melalui seni, yakni pengalaman belajar seni yang berupa pengalaman
estetik dapat dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan pendidikan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, pembinaan pengalaman estetis untuk
mengembangkan potensi impuls estetik pebelajar dapat dilakukan dengan berbagai
kegiatan. Menurut Wickiser (1957) pengalaman estetik pebelajar dapat dilakukan
melalui 4 tipe kegiatan, yakni: (1) kegiatan ekspresi, (2) kegiatan konstruksi,
(3) kegiatan apresiasi dan (4) kegiatan sosial. Dalam bahasa yang berbeda
Eisner (1972) mengembangkan potensi pengalaman estetik pebelajar tersebut dalam
4 tipe kegiatan, meliputi: perseptual, produksi, kritik, dan pengalaman
kultural. Selanjutnya Salam (2004a: 3) mengelompokkan pengembangan potensi
pengalaman estetik intinya dapat dilakukan melalui kegiatan penciptaan (creation), pelakonan (performance), dan penanggapan (response). Dan jika disarikan lagi
hakekat pembinaan pengalaman estetik tersebut dapat dilakukan melalui dua inti
kegiatan, yakni kegiatan ekspresi/kreasi dan kegiatan apresiasi.
Sebagaimana Dewey, Wickiser (1957) juga mengatakan bahwa pembinaan
pengalaman estetik di sekolah umum dapat dilakukan melalui kumpulan kegiatan artistic, yakni merupakan kegiatan
individu pebelajar yang utuh (holistic),
atau kegiatan individu yang terpadu (terintegrasi) dengan masalah
sosial/lingkungan. Pernyataan tersebut mengandung pesan bahwa pembelajaran seni
akan lebih bermakna bagi pebelajar jika proses pembelajarannya terintegrasi
dengan lingkungannya. Integrasi yang dimaksud lebih ditekankan pada pengalaman
pebelajar dengan lingkungan belajar seni dan hasil yang diharapkan akan dapat
menumbuhkembangkan impuls estetik pebelajar.
Berdasarkan kajian di muka dapat dibuat suatu model integrasi yang tidak
sekedar korelasi tetapi menyatu dengan kehidupan dan pengalaman pembelajar.
Inti pembelajaran seni ditekankan pada pengintegrasian pengalaman estetik
berbagai tipe kegiatan. Bentuk integrasi dapat digambarkan pada bagan 2.2
sebagai berikut ini.
Bagan 2.2. Bagan model pengintegrasian pengalaman estetik dengan
pendekatan seni sebagai kegiatan
Bagan integrasi tersebut menggambarkan bahwa antar komponen kegiatan
pengalaman seni saling terkait yang muaranya pada menumbuhkembangkan potensi
impuls estetik. Bagan tersebut juga menggambarkan sudah mencakup semua kegiatan
pengalaman seni yang diungkapkan oleh para ahli. Pengalaman perseptual yang
dikemukakan Eisner misalnya bisa terwadahi pada kegiatan identifikasi dan
analisis. Demikian juga pengalaman produksi terwadahi pada kegiatan ekspresi
dan konstruksi dan seterusnya.
Pengintegrasian pengalaman estetik ke dalam program pendidikan seni untuk
menumbuhkembangkan impuls estetik dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3. Gambaran kompetensi hasil
pembelajaran seni melalui
pengintegrasian pengalaman estetik
Berdasarkan uraian di muka dapat dikatakan
bahwa kecenderungan hakekat fungsi seni di sekolah umum adalah sebagai
alat pendidikan atau “pendidikan lewat seni” (education through arts)
yang cukup populer sejak memasuki abad 20. Dalam konsep ini, menekankan fungsi
seni untuk membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak didik. Namun demikian
esensi pendidikan seni untuk menumbuhkan potensi estetik anak tetap menjadi
ciri khas pendidikan seni.
Esensi hakekat pendidikan seni untuk
membina pengalaman estetik tersebut, sejalan dengan apa yang tertuang dalam
kurikulum KTSP Seni Budaya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa mata pelajaran Pendidikan Seni diganti dengan
sebutan mata pelajaran “Seni Budaya” masuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok
mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan
mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan
mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi
dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual maupun sosial kemasyarakatan
sehingga mampu menikmati, mensyukuri hidup, maupun mampu menciptakan
kebersamaan yang harmonis.
Dalam kurikulum KTSP mata pelajaran Seni
Budaya tersebut tergambar jelas bahwa pengalaman estetik pebelajar dapat
dilakukan melalui kegiatan ekspresi dan apresiasi. Meskipun demikian kegiatan
tersebut tidak bisa lepas dengan tipe kegiatan lain, yakni terkait dengan
kegiatan konstruksi maupun sosial. Kegiatan mendesain, menyusun, menggubah dan
sebagainya merupakan kegiatan ekspresi/pengungkapan yang lebih banyak
melibatkan nalar, maka kegiatan ekspresi bisa terkait dengan kegiatan
konstruksi. Demikian juga kegiatan pameran/pagelaran, widyawisata dan sejenisnya
bisa menjadi kegiatan apresiasi tetapi sekaligus juga bisa menjadi kegiatan
sosial.
Penggambaran uraian mengenai pembenaran fungsi esensial dan pembenaran
fungsi kontekstual juga tercermin dalam jabaran sifat dari peran dan tujuan
pendidikan Seni Budaya diberikan di sekolah, yakni bersifat multidimensional,
multilingual, dan multikultural tidak hanya menumbuhkembangkan
kemampuan bidang estetika saja, tetapi juga memiliki andil dalam mengembangkan
kemampuan non-seni melalui pendidikan seni dibidang logika dan etika. Sifat Multilingual bermakna pendidikan
Seni Budaya dapat berfungsi sebagai upaya mengembangkan kemampuan
mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti
bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional berarti pendidikan Seni
Budaya dapat berfungsi sebagai upaya mengembangkan beragam kompetensi meliputi
konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis
unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural mengandung
makna pendidikan Seni Budaya dapat berfungsi sebagai upaya menumbuhkembangkan
kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan
mancanegara. Tumbuhkembangnya kesadaran
tersebut merupa-kan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan
seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang
majemuk (Depdiknas, 2006).
Pendidikan Seni Budaya juga
dikatakan memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang
harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai
multikecerdasan. Menurut Gardner dkk
(Dryden & Vos, 2001) multiple intelligence terdiri atas kecerdasan
intrapersonal, interpersonal, visual
spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan
adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan
kecerdasan emosional. Pembelajaran Seni Budaya yang mengintegrasikan
pengembangan multikecerdasan tersebut akan dapat berperan menyeimbangkan
belahan otak kanan dan otak kiri pebelajar.
Secara konseptual hakekat pendidikan Seni
Budaya diberikan di sekolah sejalan dengan pandangan ahli di muka, yakni untuk
mengembangkan potensi estetik siswa (pembenaran esensial) dan dampak ikutannya
dapat berfungsi untuk menumbuhkembangkan potensi pribadi dan sosial siswa baik
intelek, emosi maupun fisik siswa (pembenaran kontekstual). Namun
konsepsi/hakekat pendidikan seni tersebut belum bisa memberikan gambaran yang
jelas tentang bagaimana cara mengimplementasikannya di lapangan/di kelas.
Akibatnya masih sering dijumpai berbagai persoalan pelaksanaan pembelajaran
seni bervariasi bahkan tereduksi tidak sesuai dengan hakekat, tujuan, prinsip
maupun pendekatan pembelajarannya. Persoalan pengembangan hakekat pendidikan
seni tersebut menjadi prinsip-prinsip, alternatif-alternatif model/pendekatan
pembelajaran yang jelas dan konkrit merupakan hal penting dan mendesak
dibutuhkan para guru pendidikan seni di lapangan.
D. Ringkasan
1.
Berdasarkan
beberapa pandangan tentang konsep seni, pada dasarnya mencakup dua kutup
kecenderungan konsep yaitu seni sebagai keterampilan dan seni sebagai ekspresi.
2.
Arahan
konsep pendidikan seni secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu : (1) yang dikaitkan dengan aspek ekspresi artistik (seni dalam
pendidikan), dan (2) yang ada hubungannya dengan tujuan pendidikan (seni
sebagai alat/media pendidikan ).
3.
Hakekat fungsi pendidikan seni diberikan di sekolah
umum adalah untuk membantu menumbuhkembangkan potensi estetik dan kepribadian
anak didik. Fungsi tersebut meliputi: (1) seni sebagai wahana ekspresi, (2)
seni sebagai sarana pengembangan/pembinaan kreatifitas, (3) seni sebagai sarana
pengembangan bakat anak, (4) seni sebagai sarana pembinaan ketrampilan, (5)
seni sabagai sarana pembentukan kepribadian, dan (6) seni sebagai sarana
pembinaan impuls estetik.
4.
Hakekat
fungsi pendidikan seni diberikan di sekolah umum secara filosofi, psikologis,
maupun sosiologis memiliki fungsi ganda, yaitu dapat difungsikan untuk seni itu
sendiri maupun seni untuk non-seni (seni sebagai alat pendidikan).
Matur sembah nuwun sampun mbiyantu kagem kulo.
BalasHapus